Refleksi perkuliahan Filsafat Ilmu oleh : Prof. Marsigit
Program Studi Pendidikan Matematika S2 Kelas D
Jum'at 19 September 2014, jam 10.00-11.40 WIB
di Ruang 100B Gedung Utara Pascasarjana UNY
Yang Ada Dan Yang Mungkin Ada
Sang Krisna
ditanya oleh Drupadi, ketika Perang Baratayudha, siapakah yang selamat dan
siapakah yang tidak selamat? Kemudian Krisna menjawab, “Kegembiraanmu di waktu yang akan datang (kegembiraan hatimu) tidak
mampu menghapuskan kesedihanmu di saat ini (sekarang). Sebaliknya, kesedihanmu
di masa yang akan datang, bisa menghapuskan kegembiraanmu sekarang”. Ini hubungan
antara waktu dan hati.
Hubungan
antara yang ada dan yang mungkin ada contohnya yaitu hubungan antara pikiran
dan hati, hubungan antara doa dan pikiran. Dengan cara belajar berfilsafat kita
akan membangun salah satu filsafat, bahwa hidup adalah dengan merangkai
pilar-pilar, menghubungkan komponen-komponennya. Bagaimana kita bisa membangun
itu semua? Yaitu dengan cara perbanyak membaca, ditambah keikhlasan, sabar, tawakal,
istikomah (terus menerus), untuk mendapatkan ilmu.
Hidup itu
adalah mengisi antara benar dan salah, baik dan buruk, diam dan ucapan,
dikerjakan dan tidak dikerjakan. Hidup itu mengisi antara fatal dan vital. Ikhtiarkan
dulu baru menerima nasib. Berbagai macam ikhtiar itu bisa berdoa, bisa belajar,
bisa bertanya teman, bisa menggunakan pikiran sendiri, setelah itu baru
menunggu datangnya Takdir.
Dalam pembelajaran
filsafat ini digunakan simbolisasi dewa karena ia toleran terhadap keterbatasan
pikiran dan tindakan manusia. Untuk mengurangi resiko daripada melakukan
kesalahan oleh karena itu tidak dilakukan simbolisasi dengan nama Tuhan, dan
meniru yang sudah dilakukan banyak orang.
Dalam pewayangan
jawa, ada tokoh sentral seorang dewa bernama Bathara Guru, kenapa bernama Guru?
Karena senjata yang paling sakti adalah Ilmu. Dalam pembelajaran filsafat ilmu,
kita menggunakan istilah Dewa sebagai subyek dalam obyeknya. Dirimu adalah
subyek semua milikmu, milikmu adalah predikatmu, maka semua sifat itu jatuh
pada Obyek/Subyek. Sifat yang jatuh pada Subyek/Obyek itu namanya sifat
berimplikasi terhadap dua hal. Bisa subyek atau predikat, termasuk di dalam
subyeknya yang terjadi kalau itu urusan dunia tidak ada subyek = predikat. Tidak
mungkin. Tidak ada yang bisa dikatakan 1 = 1 ketika itu urusan dunia.
Aku = aku itu
hanya ada di urusan langit, di dalam pikiranku di dunia inilah aku, aku adalah
aku. Pikiranku adalah pikiranku. Maka ketika di dunia berlaku sifat
kontradiktif. Jika kamu ingin mempunyai sifat yang identitas tidak akan terjadi
di dunia, itu hanya akan terjadi di langit, di dalam pikiranmu atau di dalam
pengandaian. Maka, bahasa matematika dalam identitas dimulai dengan
pengandaian. Tetapi untuk matematika anak kecil, benda konkrit bersifat
kontradiksi, kontradiksinya filsafat beda dengan kontradiksinya matematik.
Kalau kontradiksinya
matematik, kontradiksi dari hukum identitas. Seberapa jauh ia konsisten, kalau
tidak konsisten namanya kontradiksi. Ternyata ada juga dewa yang tidak
konsisten. Untuk ukuran dunia, ukurannya adalah kontradiksi. Omong kosong boleh
diucapkan kalau sudah dikendalikan oleh motif, maka motif itu paling tinggi
tergantung niatnya.
Pikiran kita
sekarang terbelah menjadi dua. Di sana ada benar ada salah, di sini ada benar
ada salah. Hubungan antara motif, ruang dan waktu. Motif itu bisa manipulatif. Itulah
perilaku politik. Maka jangan sampai kita keluar dari koridor. Itulah hubungan
antara ikhtiar dan takdir. Dalam filsafat ini, hubungan antara takdir dan
pikiranmu, takdir yang dipikirkan, takdir yang mestinya tidak boleh dipikirkan,
kita tahu ranahnya masing-masing. Kalau anda percaya pada takdir maka yang
sudah terjadi adalah yang terbaik bagi dirimu. Itulah yang terbaik.
Hubungan antara
motif dan pikiran antara lain, berani benar, berani salah, tak berani benar,
tak berani salah. Kurawa itu walaupun salah, dia berani. Pandawa, dia benar
dulu baru dia berani. Tetapi, kukuh terhadap kebenaran ternyata mengandung
unsur lain yang bisa dikaitkan hubungannya.
Hubungan antara
pikiran dan hati, benar tidak sombong, benar sombong, salah tidak sombong,
salah sombong. Apa yang mau dipikirkan jika salah, nyombong lagi. Pandawa itu
tergoda dan membikin masuk situasi benar sehingga dia menjadi sombong,
khususnya Puntadewa. Sehingga karena dia sudah sombong, maka ketika dia ditantang
untuk berjudi dan bertaruh, yang dipertaruhkannya tidak main-main, isterinya. Ia
gengsi kalau tidak mau menuruti.
Hati itu
berdimensi. Dimensi bipolar saja jika berbicara dari senang tidak senang itu
jauhnya tak terhingga. Senang 100% dan tidak senang 100%, itu dari komponen
hati yang 1. Padahal komponen hati meliputi tidak hanya senang dan tidak
senang. Sayang, cinta, dan seterusnya semua berdimensi. Kalau digambarkan
struktur bangunan keilmuan ini, itu seperti bangunan ini berdimensi 3, bahkan
kita sudah sampai tataran berdimensi 4.
Yang mungkin
ada bagi dirimu lebih banyak dari yang engkau tahu. Sebenarnya dalam hidup ini,
anda dikatakan hidup jika selalu mengadakan hal-hal yang mungkin ada menjadi
ada. Hakekat ilmu atau hakekat belajar sebetulnya mengadakan dari yang mungkin
ada menjadi ada. Caranya dengan berinteraksi.