Sabtu, 27 September 2014

Siap Menerima Takdir

Refleksi perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Marsigit
Program Studi Pendidikan Matematika S2 Kelas D
Jum'at  26 September 2014, jam 10.00-11.40 WIB
di Ruang 100B Gedung Utara Pascasarjana UNY



Siap Menerima Takdir
Segala yang ada dan yang mungkin ada punya filsafatnya masing-masing, kalau belum ketemu hanya karena belum ketemu saja. Fungsi adanya tes jawab singkat pada mata kuliah filsafat ilmu adalah sebagai ajang silaturahim. Hakikat berfilsafat adalah bertanya dan ditanya, dan mampu menguraikan hal-hal yang ditanyakan tadi. Perkara hasilnya nol kalau sudah diikhtiarkan namanya takdir. Berbicara spiritual itu menggunakan referensi dan berdasarkan pengalaman.
Filsafat dari sisi yang dipahami bukan semata-mata bentuk formalnya saja tetapi mestinya cair, atau bahkan bisa lebih cair dari air yaitu udara. Ada ikatan – ikatan bentuk formal dan normatifnya. Substansinya adalah chemistri. Tidak hanya memenuhi syarat saja. Ada solusi dari perbedaan yang dipaksakan.
Hidup ini dibedakan menjadi dua, yaitu berani dan benar. Kalu bisa keduanya dimiliki. Bagaimanapun juga kita dibatasi oleh etik dan estetika, tidak semua hal pantas kita pikirkan, yang kita pikirkan tidak semua hal yang bisa ditulis, yang ditulis tidak semua hal bisa diucapkan. Tidak semua yang diucapkan bisa dilakukan. Jika semua hal yang dipikirkan bisa ditulis maka akan berbahaya.
Khusyu’ tidaknya seseorang tidak bisa dilihat orang lain. Itu misteri. Hubungan antara dimensi, bahasanya bahasa analog. Ciri-ciri bahasa analog adalah dia sanggup menempus ruang dan waktu. Contohnya cinta.

Kamis, 25 September 2014

Yang Ada Dan Yang Mungkin Ada


Refleksi perkuliahan Filsafat Ilmu oleh : Prof. Marsigit
 Program Studi Pendidikan Matematika S2 Kelas D
Jum'at  19 September 2014, jam 10.00-11.40 WIB
di Ruang 100B Gedung Utara Pascasarjana UNY


Yang Ada Dan Yang Mungkin Ada

Sang Krisna ditanya oleh Drupadi, ketika Perang Baratayudha, siapakah yang selamat dan siapakah yang tidak selamat? Kemudian Krisna menjawab, “Kegembiraanmu di waktu yang akan datang (kegembiraan hatimu) tidak mampu menghapuskan kesedihanmu di saat ini (sekarang). Sebaliknya, kesedihanmu di masa yang akan datang, bisa menghapuskan kegembiraanmu sekarang”. Ini hubungan antara waktu dan hati.
Hubungan antara yang ada dan yang mungkin ada contohnya yaitu hubungan antara pikiran dan hati, hubungan antara doa dan pikiran. Dengan cara belajar berfilsafat kita akan membangun salah satu filsafat, bahwa hidup adalah dengan merangkai pilar-pilar, menghubungkan komponen-komponennya. Bagaimana kita bisa membangun itu semua? Yaitu dengan cara perbanyak membaca, ditambah keikhlasan, sabar, tawakal, istikomah (terus menerus), untuk mendapatkan ilmu.
Hidup itu adalah mengisi antara benar dan salah, baik dan buruk, diam dan ucapan, dikerjakan dan tidak dikerjakan. Hidup itu mengisi antara fatal dan vital. Ikhtiarkan dulu baru menerima nasib. Berbagai macam ikhtiar itu bisa berdoa, bisa belajar, bisa bertanya teman, bisa menggunakan pikiran sendiri, setelah itu baru menunggu datangnya Takdir.
Dalam pembelajaran filsafat ini digunakan simbolisasi dewa karena ia toleran terhadap keterbatasan pikiran dan tindakan manusia. Untuk mengurangi resiko daripada melakukan kesalahan oleh karena itu tidak dilakukan simbolisasi dengan nama Tuhan, dan meniru yang sudah dilakukan banyak orang.
Dalam pewayangan jawa, ada tokoh sentral seorang dewa bernama Bathara Guru, kenapa bernama Guru? Karena senjata yang paling sakti adalah Ilmu. Dalam pembelajaran filsafat ilmu, kita menggunakan istilah Dewa sebagai subyek dalam obyeknya. Dirimu adalah subyek semua milikmu, milikmu adalah predikatmu, maka semua sifat itu jatuh pada Obyek/Subyek. Sifat yang jatuh pada Subyek/Obyek itu namanya sifat berimplikasi terhadap dua hal. Bisa subyek atau predikat, termasuk di dalam subyeknya yang terjadi kalau itu urusan dunia tidak ada subyek = predikat. Tidak mungkin. Tidak ada yang bisa dikatakan 1 = 1 ketika itu urusan dunia.
Aku = aku itu hanya ada di urusan langit, di dalam pikiranku di dunia inilah aku, aku adalah aku. Pikiranku adalah pikiranku. Maka ketika di dunia berlaku sifat kontradiktif. Jika kamu ingin mempunyai sifat yang identitas tidak akan terjadi di dunia, itu hanya akan terjadi di langit, di dalam pikiranmu atau di dalam pengandaian. Maka, bahasa matematika dalam identitas dimulai dengan pengandaian. Tetapi untuk matematika anak kecil, benda konkrit bersifat kontradiksi, kontradiksinya filsafat beda dengan kontradiksinya matematik.
Kalau kontradiksinya matematik, kontradiksi dari hukum identitas. Seberapa jauh ia konsisten, kalau tidak konsisten namanya kontradiksi. Ternyata ada juga dewa yang tidak konsisten. Untuk ukuran dunia, ukurannya adalah kontradiksi. Omong kosong boleh diucapkan kalau sudah dikendalikan oleh motif, maka motif itu paling tinggi tergantung niatnya.
Pikiran kita sekarang terbelah menjadi dua. Di sana ada benar ada salah, di sini ada benar ada salah. Hubungan antara motif, ruang dan waktu. Motif itu bisa manipulatif. Itulah perilaku politik. Maka jangan sampai kita keluar dari koridor. Itulah hubungan antara ikhtiar dan takdir. Dalam filsafat ini, hubungan antara takdir dan pikiranmu, takdir yang dipikirkan, takdir yang mestinya tidak boleh dipikirkan, kita tahu ranahnya masing-masing. Kalau anda percaya pada takdir maka yang sudah terjadi adalah yang terbaik bagi dirimu. Itulah yang terbaik.
Hubungan antara motif dan pikiran antara lain, berani benar, berani salah, tak berani benar, tak berani salah. Kurawa itu walaupun salah, dia berani. Pandawa, dia benar dulu baru dia berani. Tetapi, kukuh terhadap kebenaran ternyata mengandung unsur lain yang bisa dikaitkan hubungannya.
Hubungan antara pikiran dan hati, benar tidak sombong, benar sombong, salah tidak sombong, salah sombong. Apa yang mau dipikirkan jika salah, nyombong lagi. Pandawa itu tergoda dan membikin masuk situasi benar sehingga dia menjadi sombong, khususnya Puntadewa. Sehingga karena dia sudah sombong, maka ketika dia ditantang untuk berjudi dan bertaruh, yang dipertaruhkannya tidak main-main, isterinya. Ia gengsi kalau tidak mau menuruti.
Hati itu berdimensi. Dimensi bipolar saja jika berbicara dari senang tidak senang itu jauhnya tak terhingga. Senang 100% dan tidak senang 100%, itu dari komponen hati yang 1. Padahal komponen hati meliputi tidak hanya senang dan tidak senang. Sayang, cinta, dan seterusnya semua berdimensi. Kalau digambarkan struktur bangunan keilmuan ini, itu seperti bangunan ini berdimensi 3, bahkan kita sudah sampai tataran berdimensi 4.
Yang mungkin ada bagi dirimu lebih banyak dari yang engkau tahu. Sebenarnya dalam hidup ini, anda dikatakan hidup jika selalu mengadakan hal-hal yang mungkin ada menjadi ada. Hakekat ilmu atau hakekat belajar sebetulnya mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada. Caranya dengan berinteraksi.